Sunday, May 11, 2014

Benahi Pendidikan dengan 5W+1H

Pendidikan sebagai dasar atau pondasi yang berpengaruh besar terhadap kemajuan bangsa. Pendidikan di Indonesia yang tampak seperti melihat siapa yang cerdas, bukan mencerdaskan bangsa ini sangat perlu dibenahi. Lihatlah dari segi 5W+1H. Siapa pengajarnya? Apa yang diajarkan? Dimana mereka melakukan kegiatan belajar mengajar? Kapan kegiatan belajar mengajar dilakukan? Bagaimana cara guru mengajar? Mengapa guru mengajar demikian? Mengapa murid-murid malas belajar?

Ketika saya menganalisis dari berbagai sudut, faktor-faktor yang berpengaruh dengan pendidikan yaitu dari diri sendiri, keluarga, guru, fasilitas pembelajaran, kesempatan, dan lingkungan pergaulan. Dari hal-hal tersebut, faktor utamanya adalah guru bukan diri sendiri. Karena guru yang membentuk mindset dan dapat pula mengubah mindset anak terhadap kata atau kegiatan 'belajar' dan 'sekolah'. Guru bukan sebagai orang pintar yang mengajarkan melainkan sebagai orang yang dapat mentransfer ilmunya. Tidak sampainya ilmu tersebut disebabkan dari cara guru itu mengajar. Apakah membuat murid bosan, stress, atau bahkan membuat semangat untuk belajar?

Wajar sekali pelajar di Indonesia yang mumet, stress, dan yang paling banyak adalah yang malas belajar. Mereka duduk di kelas dari pagi hingga sore, 5/7 hari selama 12 tahun dengan tugas yang menumpuk. Ketidakefektifan ini menghabiskan waktu yang dimiliki pelajar untuk melakukan hal-hal lain seperti hiburan atau kegemarannya. Mereka membutuhkan keseimbangan antara sekolah dengan kegiatan lain. Maka dari itu, mereka semakin merasa malas dengan kegiatan sekolah yang monoton dan menggeser waktunya untuk menjalani kegemarannya.

Semakin tidak tertarik pula apabila diajarkan namun tidak mengerti. Karena sudah terbiasa diberitahu bukan inisiatif mencari tahu, maka apabila tidak mengerti mereka merasa tidak bisa, harusnya merasa tertantang untuk tahu. Ada pepatah mengatakan "Mendengar maka kau lupa, melihat maka kau ingat, terlibat maka kau mengerti." Mereka akan cepat memahami pelajaran dari sebuah pengalaman (praktek) yang langsung melekat pada ingatan mereka, bukan dengan menghafal dari buku yang belum tentu ia benar-benar memahami pada realitasnya.

Guru pun tidak memperhatikan apa yang disukai, digemari, dirasakan, dialami dan dipikirkan oleh murid-muridnya. Pentingnya hal-hal kecil untuk diamati seperti batu kerikil yang membuat kita tersandung. Tidak terus-menerus murid yang memahami gurunya tetapi guru juga baik untuk memahami muridnya. Tanpa memahami lawan bicaranya, apa yang ia sampaikan belum tentu diterima dengan baik.


Pentingnya memperketat siapa yang bisa menjadi guru, selain pintar ia juga harus berpotensi terhadap psikologi anak dan ketulusan untuk membuat murid-muridnya cerdas. Dengan demikian, guru yang sudah berkualitas tinggi perlu didukung oleh sistem pendidikan di Indonesia yang diperbaiki dengan matang. Tentunya dengan goresan kreatif yang dapat mengaplikasikan cara-cara yang dimiliki guru untuk mengajar.