Pendidikan sebagai dasar atau
pondasi yang berpengaruh besar terhadap kemajuan bangsa. Pendidikan di
Indonesia yang tampak seperti melihat siapa yang cerdas, bukan mencerdaskan
bangsa ini sangat perlu dibenahi. Lihatlah dari segi 5W+1H. Siapa pengajarnya?
Apa yang diajarkan? Dimana mereka melakukan kegiatan belajar mengajar? Kapan kegiatan
belajar mengajar dilakukan? Bagaimana cara guru mengajar? Mengapa guru mengajar
demikian? Mengapa murid-murid malas belajar?
Ketika saya menganalisis dari berbagai sudut, faktor-faktor yang berpengaruh dengan pendidikan yaitu dari diri sendiri, keluarga, guru, fasilitas pembelajaran, kesempatan, dan lingkungan pergaulan. Dari hal-hal tersebut, faktor utamanya adalah guru bukan diri sendiri. Karena guru yang membentuk mindset dan dapat pula mengubah mindset anak terhadap kata atau kegiatan 'belajar' dan 'sekolah'. Guru bukan sebagai orang pintar yang mengajarkan melainkan sebagai orang yang dapat mentransfer ilmunya. Tidak sampainya ilmu tersebut disebabkan dari cara guru itu mengajar. Apakah membuat murid bosan, stress, atau bahkan membuat semangat untuk belajar?
Wajar sekali pelajar di
Indonesia yang mumet, stress, dan yang paling banyak adalah yang malas belajar.
Mereka duduk di kelas dari pagi hingga sore, 5/7 hari selama 12 tahun dengan
tugas yang menumpuk. Ketidakefektifan ini menghabiskan waktu yang dimiliki
pelajar untuk melakukan hal-hal lain seperti hiburan atau kegemarannya. Mereka
membutuhkan keseimbangan antara sekolah dengan kegiatan lain. Maka dari itu,
mereka semakin merasa malas dengan kegiatan sekolah yang monoton dan menggeser
waktunya untuk menjalani kegemarannya.
Semakin tidak tertarik pula
apabila diajarkan namun tidak mengerti. Karena sudah terbiasa diberitahu bukan
inisiatif mencari tahu, maka apabila tidak mengerti mereka merasa tidak bisa,
harusnya merasa tertantang untuk tahu. Ada pepatah mengatakan "Mendengar
maka kau lupa, melihat maka kau ingat, terlibat maka kau mengerti." Mereka
akan cepat memahami pelajaran dari sebuah pengalaman (praktek) yang langsung
melekat pada ingatan mereka, bukan dengan menghafal dari buku yang belum tentu
ia benar-benar memahami pada realitasnya.
Guru pun tidak memperhatikan
apa yang disukai, digemari, dirasakan, dialami dan dipikirkan oleh
murid-muridnya. Pentingnya hal-hal kecil untuk diamati seperti batu kerikil yang
membuat kita tersandung. Tidak terus-menerus murid yang memahami gurunya tetapi
guru juga baik untuk memahami muridnya. Tanpa memahami lawan bicaranya, apa
yang ia sampaikan belum tentu diterima dengan baik.
Pentingnya memperketat siapa
yang bisa menjadi guru, selain pintar ia juga harus berpotensi terhadap psikologi
anak dan ketulusan untuk membuat murid-muridnya cerdas. Dengan demikian, guru
yang sudah berkualitas tinggi perlu didukung oleh sistem pendidikan di
Indonesia yang diperbaiki dengan matang. Tentunya dengan goresan kreatif yang
dapat mengaplikasikan cara-cara yang dimiliki guru untuk mengajar.
No comments:
Post a Comment