Tuesday, November 10, 2015

KETIKA LANGKAH TERHENTI

Oleh Sheila Saliha

“Ermi! Ermiii…” Aku berteriak pasrah memanggil sahabatku. Air mengalir melewati tubuhku. Air itu tingginya sudah sampai di bawah mulutku.  Betapa dalamnya volume air Kali Sunter di dekat rumah. Arus airnya sangat deras dan kencang. Tak heran, baru saja aku dan kedua sahabatku menunggu hujan berhenti. Aku melihat Ermi dan Audrey berada di pinggir kali menyaksikanku di sini. Mereka memiliki ekspresi yang berbeda, bahkan berbanding terbalik satu sama lain. Audrey terlihat panik, mencemaskanku dan memanggil-manggil namaku dengan suara bergetar. Sahabatku yang satunya tak panik sedikitpun melainkan tertawa terpingkal-pingkal seperti melihat sebuah hiburan. Lalu mengapa aku di sini? Mengapa aku terjebak di tengah kali yang deras dan aku tak bisa bergerak?
Jika aku mengikuti arus, aku akan semakin tenggelam. Semakin jauh aku ke sana, semakin tinggi air yang kurasakan membasahi tubuhku. Ketika aku berbalik, aku tak bisa melawan arus itu. Aku terjebak. Aku akan hanyut…
***
Di sekolah, ada tiga hal yang menyenangkan bagiku. Yang pertama, memiliki sahabat-sahabat sejati. Aku duduk bersama Ermi. Perempuan berambut keriting, bergaya tomboy layaknya rapper, friendly, dan enjoy luar biasa. Enjoy luar biasa? Dia tidak memiliki rasa tidak enak pada siapapun orangnya, tidak memikirkan hal-hal yang dipikirkan orang lain, dan selalu menerima pemberian orang tanpa rasa sungkan ala rakyat merah putih. Kadang aku tertawa melihatnya seperti itu.
Adapun Audrey, anak baru yang merupakan pindahan dari Cibubur. Perempuan paling up-to-date yang suka membawa majalah ini adalah anak yang lemah lembut, suka menyanyi, royal, tapi pemalu.
Hal kedua yang menyenangkan setelah persahabatan di sekolah adalah lokasi strategis untuk belajar. Untuk berbincang juga tentunya. Aku dan Ermi duduk di bangku kedua dari belakang. Tanpa adanya sesi cerita hal-hal sepele dengan teman sebelah, aku akan mengantuk ketika jam belajar sehingga tidak dapat memperhatikan materi yang diberikan guru.
Hal ketiga yang menyenangkan adalah libur. Ya, semua murid akan bersorak-sorai ketika diumumkan esok libur panjang. Hari-hari yang bebas dari jadwal pelajaran, tugas, bangun pagi, dan lain-lain. Hari-hari yang bisa kami isi sendiri jadwalnya baik untuk bermain, membantu orang tua, menonton TV, maupun jalan-jalan.
 Suatu hari, aku membuat jadwal untuk mengisi liburku dengan bermain bersama Audrey dan Ermi. Mereka ke rumahku. Kami berbincang-bincang ala perempuan dan menghiraukan suara TV yang terus menyala. Tak lama, kamipun memutuskan untuk bermain basket.
Menuju lapangan basket, kami melewati taman yang indah. Tanaman itu ditata dengan rapi, bunga-bunga yang mekar, dan rumput yang lembut. Seperti tersihir, langkah kami terhenti. Aku dan kedua temanku narsis berfoto dan mencari sisi-sisi menarik taman ini untuk menjadi background foto kami. Keindahan taman ini mengajak kami untuk tetap bermain di sini. Namun setelah puas berfoto, kami tak lupa akan tujuan kami, bermain basket. Kami pun melanjutkan perjalanan.
“Eh, kok gue nggak enak ya?” Ucap Audrey perlahan dengan muka cemas merasakan firasat buruk.
“Hah! Ada apaan Rey?” Tanyaku penasaran dengan wajah cerah berbinar dan mengira apa yang dirasakan Audrey berkaitan dengan sesuatu yang berbau horror karena aku menyukai hal tersebut.
“Hahahaha! Hahahahaha….” Ermi tertawa membaca wajahku yang penuh penasaran dan berpikir tentang hantu. Dia tahu apa yang aku pikirkan sebelum aku mengatakannya.
Ketika aku bertanya kembali, Audrey pun menegaskan bahwa apa yang dirasakannya bukanlah hal yang berbau horror, namun ia tidak tahu pasti. Sedangkan aku dan Ermi tidak begitu memedulikan apa yang dirasakan Audrey adalah sebuah firasat. Langkah kami semakin dekat dengan lapangan basket yang disekelilingi Kali Sunter. Kami mulai bermain secara bergilir memasukan bola ke ring.
Rasanya baru saja menginjak lapangan ini, tetapi hujan sudah menerpa kami dan dengan cepat ia semakin deras.  Kami meneduh di pos kosong depan lapangan ini. Tentu saja aku dan dua sahabatku belum puas bermain. Kami ingin tetap bermain basket lagi setelah hujan berhenti. Kamipun menunggu. Pandangan kami tak lain hanya tertuju pada rintik hujan, berharap hujan reda secepatnya.
Derai hujan kian melambat dan akhirnya pun perlahan berhenti. Di tengah genangan air di lapangan, kami tetap bermain hingga rasa puas dan lelah menyelimuti kami.
“Yuk udah yuk.” Aku dan yang lainnya menyudahi bermain basket.
“Yuk udah… Eh bentar deh sekali lagi” ujarku sambil mencoba melempar bola sebagai penutup bermain basket hari ini, namun dengan gesit direbut oleh Ermi. Ermipun juga mencoba memasukan bola basket ke ring. Namun sayang, bola basket itu terlempar jauh. Melewati ring dan melebihi batas lapangan. Aku mengejarnya. Bola itu melambung begitu cepat dan masuk ke kali yang berada di sekitaran lapangan ini. Air kali mengalir dengan cepat membawa bolaku.
Aku melihat aliran kali itu melingkari lapangan membentuk huruf ‘U’. Aku memutarbalik badanku dan berlari ke arah ujung lapangan sana. Dengan panik, yang aku pikirkan adalah mencoba menyelamatkan bola basketku. Aku tidak tahu akankah berhasil atau tidak jika tidak mencoba. Maka dari itu, aku selalu mencoba dan berusaha terlebih dahulu.
Bola basketku terbawa arus yang begitu cepat karena volume air kali bertambah setelah hujan tadi. Tak tahu seberapa dalamnya kali itu, akupun melangkahkan kakiku ke dalam air kali. Kumasukkan semua badanku ke dalam kali yang tingginya ternyata sepinggangku. Aku mengejar bola itu dengan berjalan di dalam air. Kuikuti arus kali dan berusaha mendekati bola itu. Meskipun berat, kakiku terus melangkah dan mataku terus tertuju pada bola basket yang berjarak hanya beberapa meter dariku.
Harapanku semakin besar dan semakin yakin dengan usaha ini ketika melihat bola basketku hampir mendekati ranting pohon yang tumbang. Ya, benar! Bolaku tertangkap oleh ranting pohon itu. Akupun terus mendekati bola itu. Selangkah demi langkah menuju sana, semakin dalam pula air yang kurasakan. Dari tingginya hanya sepinggang, kini tinggi airnya mencapai daguku! Sedikit lagi akan kena mulut dan hidungku. Hampir seluruh tubuhku terbasahi air kali dan hampir seluruh tubuhku masuk ke dalamnya. Aku mulai memikirkan bahaya jika sedikit lagi tubuhku terendam. Tidak, hal ini sudah berbahaya dari awal aku masuk ke kali. Karena setelah itu, aku mengetahui tak jarang ditemukan ular dan biawak dari kali Sunter ini.

Hap! Aku meraih bola basketku yang dipegang ranting pohon itu. Terimakasih ranting! Kini aku menggenggam erat bola basket itu dalam dekapanku. Ketika aku berbalik badan dan …
“Srrrrr….” Desiran air terdengar kencang. Aku terhenti. Tak dapat melangkahkan kakiku di dalam air seperti tadi. Aku tak bisa melawan arus! Arusnya begitu deras dan kencang. Selama aku berjalan megikuti arus tadi aku tidak tahu akan sesulit ini untuk kembali. Kini aku baru merasakan panik yang benar-benar panik setelah tadi aku melupakan hal-hal yang harus dikhawatirkan untuk mengambil bola ini.
“Ermi! Ermiii… Gue gak bisa balik miiii.” Aku berteriak pada kedua sahabatku yang berdiri di pinggir kali. Aku bisa melihat ekspresi mereka yang benar-benar berbeda, yang satu khawatir dan yang satu tertawa. Tapi, mengapa aku spontan memanggil temanku yang tertawa dibanding yang mencemaskanku? Akankah mereka menolongku? Akankah mereka berani menyeburkan diri mereka ke kali yang sungguh berbahaya ini?
Sesungguhnya, aku tidak memikirkan hal-hal itu. Aku percaya pada mereka, sahabat-sahabatku. Teriakanku yang menunjukan bahwa aku sudah tak sanggup menghadapi kesulitan ini sendiri, Ermipun melangkahkan kakinya ke dalam air.
“Oke oke gue turun.” kata Ermi dengan gaya santainya. Ermi berjalan ke arahku. Tangan kami berusaha meraih satu sama lain. Kamipun saling berpegangan erat dan berjalan melawan arus bersama. Kekuatan bersama memang lebih besar ketimbang seorang diri untuk melawan air kali yang deras ini. Sungguh, betapa bahagianya aku. Aku benar-benar merasakan bahagia di hatiku, jauh lebih bahagia ketika aku tertawa-tawa bersama mereka. Betapa indahnya memiliki sahabat sejati yang rela menolong sahabatnya sesulit apapun. Betapa indahnya persahabatan yang bukan hanya sekadar dibayar oleh harta. Betapa indahnya sahabat yang selalu ada di kala suka dan duka. Akupun menyadari hal yang paling bahagia adalah bukan saat kita tertawa bersama, melainkan saat menghadapi kesulitan bersama.
***