Oleh Sheila Saliha
“Ermi!
Ermiii…” Aku berteriak pasrah memanggil sahabatku. Air mengalir melewati
tubuhku. Air itu tingginya sudah sampai di bawah mulutku. Betapa dalamnya volume air Kali Sunter di dekat
rumah. Arus airnya sangat deras dan kencang. Tak heran, baru saja aku dan kedua
sahabatku menunggu hujan berhenti. Aku melihat Ermi dan Audrey berada di
pinggir kali menyaksikanku di sini. Mereka memiliki ekspresi yang berbeda,
bahkan berbanding terbalik satu sama lain. Audrey terlihat panik, mencemaskanku
dan memanggil-manggil namaku dengan suara bergetar. Sahabatku yang satunya tak
panik sedikitpun melainkan tertawa terpingkal-pingkal seperti melihat sebuah
hiburan. Lalu mengapa aku di sini? Mengapa aku terjebak di tengah kali yang
deras dan aku tak bisa bergerak?
Jika
aku mengikuti arus, aku akan semakin tenggelam. Semakin jauh aku ke sana,
semakin tinggi air yang kurasakan membasahi tubuhku. Ketika aku berbalik, aku
tak bisa melawan arus itu. Aku terjebak. Aku akan hanyut…
***
Di
sekolah, ada tiga hal yang menyenangkan bagiku. Yang pertama, memiliki
sahabat-sahabat sejati. Aku duduk bersama Ermi. Perempuan berambut keriting,
bergaya tomboy layaknya rapper, friendly, dan enjoy luar biasa.
Enjoy luar biasa? Dia tidak memiliki rasa tidak enak pada siapapun orangnya, tidak
memikirkan hal-hal yang dipikirkan orang lain, dan selalu menerima pemberian
orang tanpa rasa sungkan ala rakyat merah putih. Kadang aku tertawa melihatnya
seperti itu.
Adapun
Audrey, anak baru yang merupakan pindahan dari Cibubur. Perempuan paling up-to-date
yang suka membawa majalah ini adalah anak yang lemah lembut, suka menyanyi, royal, tapi pemalu.
Hal
kedua yang menyenangkan setelah persahabatan di sekolah adalah lokasi strategis
untuk belajar. Untuk berbincang juga tentunya. Aku dan Ermi duduk di bangku
kedua dari belakang. Tanpa adanya sesi cerita hal-hal sepele dengan teman
sebelah, aku akan mengantuk ketika jam belajar sehingga tidak dapat
memperhatikan materi yang diberikan guru.
Hal
ketiga yang menyenangkan adalah libur. Ya, semua murid akan bersorak-sorai
ketika diumumkan esok libur panjang. Hari-hari yang bebas dari jadwal
pelajaran, tugas, bangun pagi, dan lain-lain. Hari-hari yang bisa kami isi
sendiri jadwalnya baik untuk bermain, membantu orang tua, menonton TV, maupun
jalan-jalan.
Suatu hari, aku membuat jadwal untuk mengisi
liburku dengan bermain bersama Audrey dan Ermi. Mereka ke rumahku. Kami
berbincang-bincang ala perempuan dan menghiraukan suara TV yang terus menyala.
Tak lama, kamipun memutuskan untuk bermain basket.
Menuju
lapangan basket, kami melewati taman yang indah. Tanaman itu ditata dengan
rapi, bunga-bunga yang mekar, dan rumput yang lembut. Seperti tersihir, langkah
kami terhenti. Aku dan kedua temanku narsis berfoto dan mencari sisi-sisi
menarik taman ini untuk menjadi background
foto kami. Keindahan taman ini mengajak kami untuk tetap bermain di sini. Namun
setelah puas berfoto, kami tak lupa akan tujuan kami, bermain basket. Kami pun
melanjutkan perjalanan.
“Eh,
kok gue nggak enak ya?” Ucap Audrey perlahan dengan muka cemas merasakan
firasat buruk.
“Hah!
Ada apaan Rey?” Tanyaku penasaran dengan wajah cerah berbinar dan mengira apa
yang dirasakan Audrey berkaitan dengan sesuatu yang berbau horror karena aku
menyukai hal tersebut.
“Hahahaha!
Hahahahaha….” Ermi tertawa membaca wajahku yang penuh penasaran dan berpikir
tentang hantu. Dia tahu apa yang aku pikirkan sebelum aku mengatakannya.
Ketika
aku bertanya kembali, Audrey pun menegaskan bahwa apa yang dirasakannya
bukanlah hal yang berbau horror, namun ia tidak tahu pasti. Sedangkan aku dan
Ermi tidak begitu memedulikan apa yang dirasakan Audrey adalah sebuah firasat. Langkah
kami semakin dekat dengan lapangan basket yang disekelilingi Kali Sunter. Kami
mulai bermain secara bergilir memasukan bola ke ring.
Rasanya
baru saja menginjak lapangan ini, tetapi hujan sudah menerpa kami dan dengan
cepat ia semakin deras. Kami meneduh di
pos kosong depan lapangan ini. Tentu saja aku dan dua sahabatku belum puas
bermain. Kami ingin tetap bermain basket lagi setelah hujan berhenti. Kamipun
menunggu. Pandangan kami tak lain hanya tertuju pada rintik hujan, berharap
hujan reda secepatnya.
Derai
hujan kian melambat dan akhirnya pun perlahan berhenti. Di tengah genangan air
di lapangan, kami tetap bermain hingga rasa puas dan lelah menyelimuti kami.
“Yuk
udah yuk.” Aku dan yang lainnya menyudahi bermain basket.
“Yuk
udah… Eh bentar deh sekali lagi” ujarku sambil mencoba melempar bola sebagai
penutup bermain basket hari ini, namun dengan gesit direbut oleh Ermi. Ermipun
juga mencoba memasukan bola basket ke ring.
Namun sayang, bola basket itu terlempar jauh. Melewati ring dan melebihi batas
lapangan. Aku mengejarnya. Bola itu melambung begitu cepat dan masuk ke kali yang
berada di sekitaran lapangan ini. Air kali mengalir dengan cepat membawa
bolaku.
Aku
melihat aliran kali itu melingkari lapangan membentuk huruf ‘U’. Aku
memutarbalik badanku dan berlari ke arah ujung lapangan sana. Dengan panik,
yang aku pikirkan adalah mencoba menyelamatkan bola basketku. Aku tidak tahu
akankah berhasil atau tidak jika tidak mencoba. Maka dari itu, aku selalu
mencoba dan berusaha terlebih dahulu.
Bola
basketku terbawa arus yang begitu cepat karena volume air kali bertambah
setelah hujan tadi. Tak tahu seberapa dalamnya kali itu, akupun melangkahkan
kakiku ke dalam air kali. Kumasukkan semua badanku ke dalam kali yang tingginya
ternyata sepinggangku. Aku mengejar bola itu dengan berjalan di dalam air. Kuikuti
arus kali dan berusaha mendekati bola itu. Meskipun berat, kakiku terus
melangkah dan mataku terus tertuju pada bola basket yang berjarak hanya beberapa
meter dariku.
Harapanku
semakin besar dan semakin yakin dengan usaha ini ketika melihat bola basketku hampir
mendekati ranting pohon yang tumbang. Ya, benar! Bolaku tertangkap oleh ranting
pohon itu. Akupun terus mendekati bola itu. Selangkah demi langkah menuju sana,
semakin dalam pula air yang kurasakan. Dari tingginya hanya sepinggang, kini tinggi
airnya mencapai daguku! Sedikit lagi akan kena mulut dan hidungku. Hampir
seluruh tubuhku terbasahi air kali dan hampir seluruh tubuhku masuk ke
dalamnya. Aku mulai memikirkan bahaya jika sedikit lagi tubuhku terendam.
Tidak, hal ini sudah berbahaya dari awal aku masuk ke kali. Karena setelah itu,
aku mengetahui tak jarang ditemukan ular dan biawak dari kali Sunter ini.
Hap!
Aku meraih bola basketku yang dipegang ranting pohon itu. Terimakasih ranting! Kini
aku menggenggam erat bola basket itu dalam dekapanku. Ketika aku berbalik badan
dan …
“Srrrrr….”
Desiran air terdengar kencang. Aku terhenti. Tak dapat melangkahkan kakiku di
dalam air seperti tadi. Aku tak bisa melawan arus! Arusnya begitu deras dan
kencang. Selama aku berjalan megikuti arus tadi aku tidak tahu akan sesulit ini
untuk kembali. Kini aku baru merasakan panik yang benar-benar panik setelah
tadi aku melupakan hal-hal yang harus dikhawatirkan untuk mengambil bola ini.
“Ermi!
Ermiii… Gue gak bisa balik miiii.” Aku berteriak pada kedua sahabatku yang
berdiri di pinggir kali. Aku bisa melihat ekspresi mereka yang benar-benar
berbeda, yang satu khawatir dan yang satu tertawa. Tapi, mengapa aku spontan
memanggil temanku yang tertawa dibanding yang mencemaskanku? Akankah mereka
menolongku? Akankah mereka berani menyeburkan diri mereka ke kali yang sungguh
berbahaya ini?
Sesungguhnya,
aku tidak memikirkan hal-hal itu. Aku percaya pada mereka, sahabat-sahabatku. Teriakanku
yang menunjukan bahwa aku sudah tak sanggup menghadapi kesulitan ini sendiri,
Ermipun melangkahkan kakinya ke dalam air.
“Oke
oke gue turun.” kata Ermi dengan gaya santainya. Ermi berjalan ke arahku.
Tangan kami berusaha meraih satu sama lain. Kamipun saling berpegangan erat dan
berjalan melawan arus bersama. Kekuatan bersama memang lebih besar ketimbang seorang
diri untuk melawan air kali yang deras ini. Sungguh, betapa bahagianya aku. Aku
benar-benar merasakan bahagia di hatiku, jauh lebih bahagia ketika aku
tertawa-tawa bersama mereka. Betapa indahnya memiliki sahabat sejati yang rela
menolong sahabatnya sesulit apapun. Betapa indahnya persahabatan yang bukan
hanya sekadar dibayar oleh harta. Betapa indahnya sahabat yang selalu ada di
kala suka dan duka. Akupun menyadari hal yang paling bahagia adalah bukan saat
kita tertawa bersama, melainkan saat menghadapi kesulitan bersama.
***
9 Februari 1995 di Jakarta bentar lagi ultah ya
ReplyDelete